Euforia “kebebasan” yang disumbangkan era reformasi seringkali menuai
kritik hampir pada semua diskusi sastra salama ini, banyak kritikus
menyatakan bahwa kebebasan bersastra sekarang malahan lebih kelihatan
tabu serta membelenggu penuh norma, dan di sisi lain kebebasan bersastra
dianggap memberangus ‘kualitas’ karya karena menempatkan kualitas
literer sastra dalam posisi seolah tidak penting. Kondisi semacam ini
tentu saja tidak terlepas dari gejala sosial-politik dalam arti melihat
karya sastra sebagai representasi sosial.
Sebenarnya pembahasan semacam ini pernah di wacanakan oleh Ahmad Sahal
dalam (Culture Studies dan Tersingkirnya Estetika, Bentara, Kompas,
2/6/2000). Walaupun pada awalnya hanya dipusatkan pada masalah sastra,
tetapi meluas juga sampai ke masalah seni rupa (Jim Supangkat, Bingkai
Seni Kontekstual, Bentara, Kompas, 7/7/2000). Dan Enin Supriyanto pun
ikut meramaikannya dengan (Culture Studies, Kritik Seni dan Apresiasi,
Bentara, Kompas, 4/8/2000).
Ingin meramaikan perbincangan di seputar masalah sastra inilah beberapa
catatan yang ingin saya ajukan setelah membaca kritik Wan Anwar
(Horison, 2007). Wan Anwar secara komprehensif mengamati dan
mengistilahkan “fenomena dua kubu”, antara ‘sastra seks’, sebagai efek
kebebasan yang kelewat fulgar dan ‘sastra Islami’, yang di lihat hanya
sebagai jalan dakwah dan ibadah semata, yang masing-masing sedang
gandrung menggali muatan sastra era reformasi.
Dalam analisisnya, Wan Anwar menghubungkan kecenderungan itu dengan
esensi ‘kebebasan’ yang terbawa badai reformasi. Dengan cermat Wan
Anwar membaca dasar-dasar wacana kesusastraan yang mengonstruksi wacana
kebebasan era reformasi dan yang sedang merayakan pluralitas
budayanya.
akan tetapi Kajian semacam ini menurut Jim Supangkat terlalu
mengutamakan pembacaan “konteks daripada teks”, lebih tertarik pada
latar belakang karya sastra yang berada di luar sastra ketimbang karya
sastranya, inilah yang di kritik oleh Wan Anwar: karya sastra dianggap
hanya sebagai teks budaya atau dokomen sosial. Kritiknya, pendekatan
ini mengabaikan dimensi estetik atau tidak memperdulikan pengalaman
estetis yang menurut Wan Anwar “kualitas” menyertai pengamatan sastra.
Dengan menguraikan “fenomena dua kubu” sastra era reformasi, Wan Anwar
mengkritik pula alam pikiran ini yang dilihatnya melatari euforia
kebebasan bersastra dalam kesusastraan Indonesia sekarang. Tapi Wan
Anwar tidak melindungi kritiknya dari paradoks pandangan kesusatraan era
reformasi yang punya potensi membingungkan. Paradoks ini tercermin
pada tidak adanya batas-batas yang jelas, kapan pandangan-pandangan itu
memasuki persoalan kebebasan dalam bersastra (melihat sastra sebagai
gejala sosial-politik) dan kapan berada pada persoalan literer (makna
dan kualitas).
Seperti di ulas oleh Wan Anwar, era reformasi yang membongkar
batas-batas hegemoni ternyata menisbikan kepercayaan umum bahwa sebuah
nilai kebebasan menghadirkan nilai-nilai tinggi, sementara imbas
kebebasan selama ini memperlihatkan selera kepenulisan yang rendah
(tema-tema kebebasan yang dianggap memberangus kualitas literer sebuah
karya sastra). Namun, pada kenyataannya kebebasan bersastra tidak bisa
menghindari infrastruktur literer yang di tentangnya (tradisi pemikiran
dan tradisi estetisnya).
Seperti sudah sering di bahas, ranah kebebasan sastra ternyata tidak
bisa di lepaskan dari sisi estetis sebagai kualitas (literer) sebagai
tradisi bersastra yang tidak bisa di tolak, karena prakteknya memang
tidak mungkin dihilangkan. Sikap ambigu inilah yang membuat pandangan
tentang kebebasan dalam sastra menjadi sulit di identifikasi dan
menyesatkan sewaktu dibahas.
Dalam mengritik euforia kebebasan yang di pengaruhi wacana reformasi,
Wan Anwar menempatkan konteks dan teks pada posisi yang berlawanan.
“Pendekatan konteks” yang dikritik diasumsikan menekankan dimensi
kemasyarakatan (sosial-politik), sementara “pendekatan teks” yang di
unggulkan di anggap menekankan dimensi kualitas estetik dalam karya
sastra sekarang ini.
Dalam permasalahan sastra kotekstual pemisahan isi dan bentuk bisa
dilihat sebagai terperangkap pada pemahaman ini: suatu karya sastra di
sebut kontekstual karena latar belakang sosial-budayanya, dimensi
estetiknya, sementara itu, adalah masalah universal. Mengutip Jim
Supangkat, Pemahaman ini “tidak bunyi”. Dikaitkan atau tidak di kaitkan
dengan persoalan sastra, masalah sosial-budaya memang kontekstual.
Karena itu permasalahan sastra kontekstual baru akan “bunyi”, apabila
masalah sastranya (dimensi estetikanya) yang diyakini kontekstual,
selama ini di yakni universal. Istilah sastra kontekstual adalah yang
sementara pada proses menemukan perbedaan-perbedaan pernyataan plural.
Sesungguhnya mudah diajukan sejumlah argumen untuk menolak sikap ini.
Di satu sisi bisa dinyatakan bahwa tidak ada hukum atau formulasi yang
menjamin suatu karya sastra bisa berhasil atau tidak berhasil secara
estetik, hanya karena isinya punya konteks sosial-politik. Sebaliknya
tidak ada juga hukum yang menyatakan bahwa intensi fenomena dua kubu
ini akan berahir pada kegagalan secara estetik. Bahwa isi “sastra seks
dan sastra Isami” tak bisa di ramu menjadi ungkapan puitik.
***
Penentangan hierarki sastra dengan menyangkal tradisi liteter dan
kebebasan tidak bisa di sangkal adalah bagian dari tradisi estetika
memperdebatkan premis-premis Plato tentang keindahan metafisis dan
keindahan sensual. Melihatnya sebagai potongan perkembangan linier
dalam ilmu keindahan, penentang hierarkhi kesenian ini merupakan
penentangan teori-teori estetika abad ke-19 lalu.
Pernyataan pluralitas budaya sastra, dilihat sebagai penentangan
estetika yang mengutamakan sejarah sastra. Pendekatan sejarah ini
mengkaji keindahan melalui pembacaan teks karya sastra dengan tujuan
meninggalkan pendekatan filosofis yang dianggap sepekulatif dalam
mengkaji keindahan. Pada perkembangan abad ke-20 pembacaan teks ini
melahirkan modernist criticism yang mengabsolutkan “bentuk” dalam
dikotomi “isi” seperti di ulas Wan Anwar. Bertumpu pada universalisme
sebagai premis fundamental. Inilah hegemoni universalisme absolute yang
di tentang dengan merayakan pluralitas bersastra.
Bila Wan Anwar memang mengritik dimensi estetika sastra ahir-ahir ini,
ia sedang kembali ke perdebatan sangat tua tentang “seni untuk seni”
dan “seni untuk masyarakat”. Fenomena literer yang di sebut Wan Anwar
sebagai “medium kesenian yang bernilai pada dirinya sendiri” sudah di
konstruksikan oleh pelukis Henri de Saint-Simon bersama industrialis
Prancis pada tahun 1825 melalui Manifesto Gerakan Avan Garde. Segera
setelah kutub pandangan ini muncul, pada tahun 1861 lahir kutub lawanya
yang di pengaruhi sosoialisme (Manifesto Realis yang di lukiskan oleh
pelukis Gustav Courbet dan penyair Sosialis Carles Boudelaire). Pada
tahun 1880 dimulailah perdebatan yang kemudian menjadi berkepanjangan
tentang art of art’s sake (Bentara, 2002: 165).
Kritik Wan Anwar, sesungguhnya baru mengkritik agenda sastra era
reformasi apabila pembacaan sastra Indonesia yang ia persoalkan
diartikan pembacaan sastra era Orde Baru dan sastra era reformasi, Pada
permasalahan ini yang tetap berada pada dataran literer yang
mengutamakan masalah kualitas dan pengabaian dimensi estetik bisa dan
bahkan selayaknya dikritik dengan mempertanyakan, berapa lama mereka
akan berlangsung? Akankah ini akan mencapai sebagian besar dari mereka?
apakah kebenaran dari pengalaman ini dan bagaimana saya dapat
meraihnya? mengapa hal ini bisa terjadi?
“Krisis kemanusiaan merupakan krisis pemahaman: apa yang
sungguh-sungguh kita pahami dapat kita lakukan” demikian ujar Raimond
Williams. Di satu sisi latar belakang sosial-budaya sastra era
reformasi mudah di kenali, sementara di sisi lain latar belakang
dimensi estetiknya nyaris tak bisa di kenali. Saya kira, pernyataan ini
yang membuat kualitas satu tema dalam karya sastra cenderung
mengangkat karya-karya era reformasi yang menurut Wan Anwar mengandung
masalah yang dilihat sebagai “fenomena dua kubu” dan menafikan
karya-karya yang menonjolkan dimensi literer. Dalam hal ini pengabaian
dimensi plural (sastra seks dan sastra Islami) bukan persoalan tidak
mau, tapi tidak bisa di hindarkan.
Membentuk suatu masyarakat (sastra) adalah menemukan makna dan tujuan
bersama. Dan pertumbuhan suatu masyarakat terletak pada perdebaatan
aktif dan perbaikan (amandemen) di bawah teknan-tekanan pengalaman,
hubungan dan penemuan, menuliskan diri mereka sendiri agar membumi. Ini
pula yang seharusnya dimaknai oleh Wan Anwar sebagai keseluruhan cara
hidup bersastra. Makna bersama; untuk memaknai “kualitas” dan proses
sebagai kegiatan-kegiatan khusus penemuan dan upaya kreatif. Setidaknya
dapat di katakana bahwa Wan Anwar telah menempatkan “harapan” sastra
semisal literary criticism atau art criticism.
Permasalahan mendasar sastra kontekstual itu adalah wacana lokal (local
discourse) yang tidak lain adalah pengetahuan kesusastraan yang
tertindas wacana “internasional” yang Ero-amerisentris. Terabaikanya
pembahasan dimensi estetis dalam pembacaan sastra kita terjadi karena
wacana kesusuartaan kita masih kabur dan bukan karena wacana tentang
kualitas literer sebuah tema dalam karya sastra.
Memang salah satu agenda sastra reformis, seperti di uraikan juga oleh
Wan Anwar, adalah membebaskan pengetahuan yang terdomonasi. Namun dalam
permasalahan sastra Indonesia sekarang, agenda ini membebaskan wacana
kebebasan dari hegemoni yang menjadikanya wacana yang di kenali dan
terbaca secara komprehensif, ternyata tidak pernah sampai pada
realisasi.
Wan Anwar dengan cermat mengulas hegemoni budaya dengan tanda-tanda
yang terkesan alami tetapi sesungguhnya di konstruksikan. Pengakuan
atas “kualitas” ini menunjukan terjadinya pemaksaan citarasa kelompok
tertentu berdasarkan persetujuan. Mestinya, perkembangan kritik sastra,
menggunakan istilah “konvensi” sebagai pertimbangan-pertimbangan
teoritis untuk menjalaskan monopoli dan penyebaran kesepakatan. Karena
ini adalah wilayah pengetahuan, dalam kegiatanya untuk membangun
kesadaran. Yang menurut saya, persepsi seperti semisal Wan Anwar pasti
sangat berpengaruh walaupun tidak kentara.
Wacana tentang kualitas sastra bisa dikaji secara konvensi, tentu
dibatasi konteks. Melalui pembatasan ini, prinsip-prinsip yang
dilumrahkan dalam konvensi ini bisa dilihat sebagai kesepakatan,
kepercayaan umum, walaupun dalam kondisi simpang siur, tidak tersusun,
tumpang tindih dan tidak jelas. Justru karena kondisinya yang kacau
konvensi yang dibatasi konteks ini bebas dari dominasi yang di
istilahkan oleh Jim Supangkat, dengan “konvensi tak bertuan”. Walaupun
nantinya, tidak ada faham yang menjadi dominan dalam kondisi amburadul
semacam ini. Melainkan seorang intelektual bertekad untuk menjadi
bijaksana menurut mereka sendiri.
Sikap politik sastra tidak berniat melakukan perubahan nilai, atau
perubahan sosial, apalagi dalam sekejap, tetapi menempuh setrategi
“oposisi” terhadap dominasi dan represi. Melalui kedudukan oposisi ini
sastra mengajukan gambaran-gambaran alternative, metafora, atau
informasi yang di bentuk berupa humor, ironi, kemarahan ataupun rasa
haru, agar wajah dan suara yang selama ini tidak tampak dan bungkam
bisa di lihat ada dan di dengar. Apakah represi “kualitas” akan
menjamin terjadinya pengkayaan pengalaman estetik? Itu tidak bisa
dipastikan. Yang lebih bisa di pastikan adalah, pengabaian segala
kompleksitas gagasan, latar belakang, nuansa sosial atau soal lain
akan mempersempit pemahaman kita tentang estetika.
Adib Belaria Abadi
Kamis, 12 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)




0 komentar:
Posting Komentar